MAJELIS TAKLIM KAMPUNG MELAYU -- Peneliti Pusat Pengembangan Fiqih Konstitusi dan Islam Nusantara MN Harisudin mengatakan, karya ulama Nusantara dalam bidang fiqih harus terus dilestarikan sebagai khazanah keilmuan Islam. Sebagai hukum yang berkembang di tengah masyarakat (living law), hukum Islam atau fiqih menjadi rujukan di masa lalu, sekarang, dan yang akan datang.

“Yang lebih penting adalah melanjutkan karya ulama Nusantara. Ulama Indonesia di masa sekarang harus dapat melanjutkan dan mengelaborasi khazanah keislaman seperti ulama-ulama dulu,” kata Harisudin dalam sebuah diskusi di Sekretariat Islam Nusantara Center Tangerang Selatan, Rabu (18/4).

Katib Syuriah PCNU Jember ini juga menyebutkan, kitab-kitab ulama Nusantara dalam bidang fiqih –terutama yang ditulis saat ini- harus bisa memberikan solusi atas persoalan yang tengah terjadi.

Lebih lanjut, Harisudin menjelaskan bahwa hukum positif nasional (positif law) dibentuk atas tiga dasar yaitu hukum Islam, hukum adat, dan hukum eropa. Pada dasarnya, hukum Islam merupakan hukum yang hidup di tengah masyarakat (living law). Namun jika ‘diperjuangkan,’ maka hukum Islam akan menjadi hukum positif negara seperti Undang-Undang Haji dan Umrah, Wakaf, Zakat, dan lainnya.

Di Indonesia, posisi hukum Islam itu menguatkan hukum nasional, bukan melemahkan atau pun bertentangan dengannya. Oleh karenanya, kitab fiqih ulama Nusantara harus bersinergi dengan hukum positif nasional agar hukum Islam bisa ‘berubah’ menjadi hukum positif.

Selain itu, Harisudin menerangkan bahwa kitab fiqih ulama Nusantara tidak hanya menguraikan satu mazhab tertentu, tapi juga menyajikan pendapat-pendapat dari mazhab lain sebagai alternatif sosial kehidupan umat Islam. (sumber)