Orang atau suku betawi mungkin sangat identik dengan orang yang mendiami Jakarta sejak dulu. Namun, jauh sebelum itu, ternyata ada banyak suku yang mendiami Batavia. Bermula pada tahun 1619 saat Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) berhasil merebut Jayakarta dari Kesultanan Banten dan mengganti namanya menjadi "Batavia" (sekarang Jakarta).
Kerajaan Mataram Islam yang tidak terima, membuat mereka menyerang VOC ke Batavia mulai tahun 1626 dipimpin oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo.
“Ini yang sekarang disebut Matraman, karena dulu jadi base camp pertahanan Kerajaan Mataram Islam. Sedangkan siap-siapnya di Paseban, tempat kumpul raja dan rakyat sebelum menyerbu Batavia,” kata Asep Kambali, pendiri Komunitas Historia Indonesia saat dihubungi KompasTravel, Sabtu (27/5/2017).
Alhasil VOC pun menerapkan peraturan bagi pribumi. Sejak 1688 pasca penyerangan itu, pribumi dari berbagai etnis yang didatangkan ke Batavia dikelompokkan di beberapa tempat. Satu etnis dikhususkan di satu tempat terluar dari Batavia.
“Kerajaan pribumi dengan VOC zaman dulu biasa jual-beli budak untuk kerja, apalagi untuk yang kalah perang, tawanannya harus menjadi budak yang menang. Ada dari kerajaan Bali, Banda, dan timur Indonesia lainnya,” ujar Kartum, pemerhati sejarah yang juga pendiri Komunitas Jelajah Budaya saat dihubungi KompasTravel, Kamis (25/5/2017).
Sedangkan kedatangan bangsa melayu sebagai leluhur masyarakat Kampung Melayu sendiri terdapat dua versi. Pertama bisa jadi sebagai pedangang yang datang ke Batavia. Kedua, bisa juga sebagai tawanan kalah perang antara Portugis yang ditaklukkan Belanda di Malaka.
“Kita harus memeriksa lagi kedatangan bangsa melayu ke Batavia itu kenapa, soalnya memang di sana ramai perdagangan. Tapi jangan lupa Portugis yang menguasai Malaka juga ditaklukkan saat itu oleh Belanda sebelum menyarbu Batavia,” Kata Asep Kambali. Dari sanalah berbagai etnis tersebut mulai meramaikan pembangunan Batavia. Ada yang beraktivitas di bidang perdagangan, menjadi budak, maupun KNIL sebagai pembela VOC. Berbagai etnis kala itu ialah Melayu, Bali, Maluku, Tionghoa, dan Arab. Maka ditempatkanlah mereka di beberapa wilayah.
“Arab di Kampung Arab, Maluku ada Kampung Banda di utara, Tionghoa di Glodok, dan bagian selatan ada Kampung Melayu untuk etnis melayu. Itu di kawasan luar mengelilingi Batavia, belum Jakarta ya, karna beda luas kawasan antara Jayakarta, Batavia, dan Jakarta,” terang Asep Kambali.
Asep menerangkan saat itu belum ada namanya Betawi. Baru pada 1799 saat VOC runtuh, sempat berganti ke periode Perancis, lalu masuk periode Daendels yakni 1808-1811. Sempat dipegang Inggris sampai 1816, barulah periode Hindia Belanda muncul kata Betawi. “Saya kira kata betawi baru populer mulai 1800 akhir atau 1900 awal, terutama saat MH Thamrin membuat perkumpulan orang betawi. Inilah melting pot, pencampuran semua suku, ras, agama, dan budaya yang dulu telah ada di Batavia,” jelas Asep Kambali.
Dilihat dari etnisnya betawi merupakan gabungan Tionghoa, Arab, Melayu, Bali, hingga Indonesia bagian timur. Salah satunya terlihat dari adat pernikahan betawi, yang setengah pakaiannya merupakan adat Tionghoa dan Arab, lalu tarian melayu juga diaplikasi seperti tari zapin. “Maka sah-sah saja kalau Kampung Melayu tak mau disebut orang betawi, karena mereka ada duluan, bahkan yang membentuk betawi. Tapi harus diingat, betawi juga akulturasi dari dari melayu di Batavia dulu,” ujar Asep. Maka penyebutan panggilan untuk kawan di Kampung Melayu sedikit berbeda, jika biasanya ‘encang’ dan ‘encing’, di Kampung Melayu akrab dengan sapaan ‘pacik’ dan ‘macik’. (sumber)
Kerajaan Mataram Islam yang tidak terima, membuat mereka menyerang VOC ke Batavia mulai tahun 1626 dipimpin oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo.
“Ini yang sekarang disebut Matraman, karena dulu jadi base camp pertahanan Kerajaan Mataram Islam. Sedangkan siap-siapnya di Paseban, tempat kumpul raja dan rakyat sebelum menyerbu Batavia,” kata Asep Kambali, pendiri Komunitas Historia Indonesia saat dihubungi KompasTravel, Sabtu (27/5/2017).
Alhasil VOC pun menerapkan peraturan bagi pribumi. Sejak 1688 pasca penyerangan itu, pribumi dari berbagai etnis yang didatangkan ke Batavia dikelompokkan di beberapa tempat. Satu etnis dikhususkan di satu tempat terluar dari Batavia.
“Kerajaan pribumi dengan VOC zaman dulu biasa jual-beli budak untuk kerja, apalagi untuk yang kalah perang, tawanannya harus menjadi budak yang menang. Ada dari kerajaan Bali, Banda, dan timur Indonesia lainnya,” ujar Kartum, pemerhati sejarah yang juga pendiri Komunitas Jelajah Budaya saat dihubungi KompasTravel, Kamis (25/5/2017).
Sedangkan kedatangan bangsa melayu sebagai leluhur masyarakat Kampung Melayu sendiri terdapat dua versi. Pertama bisa jadi sebagai pedangang yang datang ke Batavia. Kedua, bisa juga sebagai tawanan kalah perang antara Portugis yang ditaklukkan Belanda di Malaka.
“Kita harus memeriksa lagi kedatangan bangsa melayu ke Batavia itu kenapa, soalnya memang di sana ramai perdagangan. Tapi jangan lupa Portugis yang menguasai Malaka juga ditaklukkan saat itu oleh Belanda sebelum menyarbu Batavia,” Kata Asep Kambali. Dari sanalah berbagai etnis tersebut mulai meramaikan pembangunan Batavia. Ada yang beraktivitas di bidang perdagangan, menjadi budak, maupun KNIL sebagai pembela VOC. Berbagai etnis kala itu ialah Melayu, Bali, Maluku, Tionghoa, dan Arab. Maka ditempatkanlah mereka di beberapa wilayah.
“Arab di Kampung Arab, Maluku ada Kampung Banda di utara, Tionghoa di Glodok, dan bagian selatan ada Kampung Melayu untuk etnis melayu. Itu di kawasan luar mengelilingi Batavia, belum Jakarta ya, karna beda luas kawasan antara Jayakarta, Batavia, dan Jakarta,” terang Asep Kambali.
Asep menerangkan saat itu belum ada namanya Betawi. Baru pada 1799 saat VOC runtuh, sempat berganti ke periode Perancis, lalu masuk periode Daendels yakni 1808-1811. Sempat dipegang Inggris sampai 1816, barulah periode Hindia Belanda muncul kata Betawi. “Saya kira kata betawi baru populer mulai 1800 akhir atau 1900 awal, terutama saat MH Thamrin membuat perkumpulan orang betawi. Inilah melting pot, pencampuran semua suku, ras, agama, dan budaya yang dulu telah ada di Batavia,” jelas Asep Kambali.
Dilihat dari etnisnya betawi merupakan gabungan Tionghoa, Arab, Melayu, Bali, hingga Indonesia bagian timur. Salah satunya terlihat dari adat pernikahan betawi, yang setengah pakaiannya merupakan adat Tionghoa dan Arab, lalu tarian melayu juga diaplikasi seperti tari zapin. “Maka sah-sah saja kalau Kampung Melayu tak mau disebut orang betawi, karena mereka ada duluan, bahkan yang membentuk betawi. Tapi harus diingat, betawi juga akulturasi dari dari melayu di Batavia dulu,” ujar Asep. Maka penyebutan panggilan untuk kawan di Kampung Melayu sedikit berbeda, jika biasanya ‘encang’ dan ‘encing’, di Kampung Melayu akrab dengan sapaan ‘pacik’ dan ‘macik’. (sumber)
0 komentar:
Posting Komentar